Senin, 31 Maret 2014

Museum Canon

Menelusuri Sejarah Kamera di Museum Canon


Kwanon, purwarupa kamera rangefinder 35mm dengan focal plane shutter pertama dari Jepang yang menjadi cikal bakal Canon Inc.
KOMPAS.com - Dekade 1930-an, dunia adalah tempat yang sangat berbeda dari sekarang, termasuk dalam hal fotografi. Kala itu kamera identik dengan merek-merek Eropa, terutama yang berasal dari Jerman, seperti Leica dan Contax.

Hingga kemudian seorang Jepang bernama Goro Yoshida mencoba membongkar sebuah kamera rangefinder 35mm "Leica Model II" untuk mempelajari cara kerjanya.

Dari situlah sejarah Canon bermula. Berbekal misi "mengejar Leica dan melewatinya", perusahaan ini telah menjelma menjadi raksasa digital imaging dengan 200.000 karyawan di seluruh dunia.
Plakat keterangan yang menjelaskan asal muasal nama Kwanon
Semuanya berakar dari "Kwanon", sebuah kamera purwarupa yang namanya berasal dari Dewi Welas Asih Buddha. "Nama tersebut lantas diubah menjadi 'Canon', agar lebih mudah diucapkan waktu perusahaan memasuki pasar internasional," ungkap petugas yang memandu Kompas Tekno menjelajahi museum Canon di kantor pusatnya di Tokyo, Rabu (13/2/2  dua minggu lalu.

Tempat ini memajang sejumlah produk yang masing-masing mewakili masa tertentu dari sejarah Canon Inc, seperti kamera Kwanon yang merupakan kamera 35mm focal plane rangefinder pertama dari Jepang tadi, misalnya.
Salah satu produk ikonik Canon, kamera rangefinder Canonet dengan light meter selenium di sekeliling lensa
Sebelum mulai membuat lensa sendiri, Canon bekerjasama dengan spesialis optik Nippon Kogaku (cikal bakal Nikon Corporation) untuk menyediakan lensa yang sesuai produk kameranya. Kamera rangerfinder 35mm komersial pertama dari Canon ini dinamai "Hansa
Canon".

Canon dan Nikon kelak tumbuh menjadi pemain paling dominan di industri fotografi modern, mengangkat Jepang menjadi produsen kamera dan lensa ternama.

Lensa putih

Dalam perjalanannya, Canon terus menerus menciptakan produk baru yang diimbuhi inovasi terkini pada masanya. Perusahaan ini sempat menimbulkan kontroversi ketika memperkenalkan mounting lensa autofokus EF di produk kamera EOS 650 pada 1987.

Hal tersebut menjadi persoalan karena lensa-lensa Canon sebelumnya yang menggunakan tipe mounting FD tidak kompatibel dengan kamera autofokus dengan mounting EOS.
EOS 650, DSLR pertama dengan autofokus dari Canon
Toh, Canon terus berjalan. Justru, berkat sistem autofokusnya yang meletakkan motor AF di lensa itu, produsen ini justru mendominasi di bidang action photography, seperti olahraga yang membutuhkan fokus gegas.

Lensa-lensa supertele Canon yang berwarna putih pun menjadi pemandangan umum di tiap venue sport dan ajang-ajang bergengsi lainnya seperti balap F1. Warna putih tadi bukan tanpa alasan.

Konon, kristal fluorite yang sering digunakan sebagai bahan elemen kaca pada lensa-lensa ini gampang berubah sifat karena panas. Nah, untuk meminimalisir panas karena matahari, tubuh lensa pun dilabur dengan warna putih.
oik yusuf/ kompas.com
Lensa super tele EF 1200mm f/5.6 USM (kiri atas) terlihat sangat besar dibandingkan lensa-lensa lain didekatnya
Pengunjung mendengarkan penjelasan mengenai kamera Canon EOS-1DX
Lensa-lensa itu turut menghiasi salah satu sudut di museum Canon. Termasuk lensa autofokus DSLR "terpanjang" yang pernah dibuat oleh Canon, EF 1200mm f/5.6 USM.

Lensa super telephoto langka yang sudah tidak diproduksi ini kabarnya harus dipesan dulu sebelum bisa dibeli. Saking sulitnya dibuat, dalam waktu satu tahun Canon hanya bisa menghasilkan dua unit EF 1200mm f/5.6 USM.

Untuk mereka yang penasaran dengan cara kerja lensa-lensa ini, museum Canon turut menampilkan penampang lensa dan kamera yang dibelah persis di bagian tengah. Struktur lensa pun terlihat jelas, termasuk elemen-elemen kaca yang ada di dalamnya.
Penampang lensa Canon EF 400mm f/4 DO IS USM dan kamera EOS-1DS terlihat dalam cross-section yang diperagakan
Masing-masing elemen kaca ini harus diatur dalam jarak yang sangat presisi, termasuk ketika melakukan zooming dan fokus di mana sejumlah elemen bergerak secara bersamaan. Semakin banyak, rumit, dan besar ukuran elemen kaca, semakin sulit sebuah lensa dibuat dan semakin mahal pula harganya.

Augmented reality

Selama perjalanannya, Canon telah melebarkan sayap ke industri digital imaging lain di luar fotografi. Produk-produknya termasuk peralatan kantor seperti mesin fotokopi, printer, hingga kalkulator elektronik.

Baru-baru ini, pabrikan tersebut juga merambah bidang augmented reality melalui produk bernama MREAL (Mixed Reality) yang memadukan input video dari dunia nyata dengan grafis 3D hasil rendering komputer.

Perangkat MREAL ditujukan bagi kalangan industri, misalnya yang bergerak di bidang arsitektur atau perancangan produk, di mana simulasi virtual atas suatu desain bisa menghemat waktu dan ongkos.
Pengunjung mencoba headgear teknologi augmented reality MREAL
"Teknologi ini sangat membantu dalam desain proyek, di mana para pembuat bisa melihat seperti apa bentuk rancangan mereka saat hadir di dunia nyata, tanpa perlu benar-benar membuatnya terlebih dahulu," ujar Richard Berger, manajer humas Canon Inc, mengenai konsep di balik MREAL.

Di samping itu, belakangan Canon juga terlibat dalam proyek pelestarian budaya bernama Tsuzuri Project, di mana peralatan digital imaging perusahaan ini digunakan untuk mengambil gambar benda-benda bernilai sejarah seperti lukisan Jepang.

Dengan mengabadikan obyek-obyek historis ini dalam bentuk digital yang kemudian dicetak, publik dapat dengan mudah mengakses dan mengenalnya sementara karya aslinya bisa disimpan dengan aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar